Peope viewing d'blax-blog

Minggu, Januari 16, 2011

Politik Versus Seni

Kalau dilihat, sudah pasti dua bidang ini seperti dua sisi mata sapi, eh mata uang. Mereka saling berseberangan satu sama lain. Tapi kadang mereka juga bisa menyatu, misalnya seorang seniman, yang kebanyakan selebritis, terjun ke ranah politik. Atau ketika misalnya tema-tema politis diangkat untuk menjadi sebuah karya seni,sebut saja film, teater ataupun musik. Nah, yang paling terakhir ini mungkin paling sering dilihat dan didengar. Banyak musisi-musisi baik luar maupun dalam negeri yang mengambil tema politis sebagai ide untuk lagunya. Dari luar, sebut saja Will.I.Am, pentolan grup musik The Black Eyed Peas yang membuat lagu Yes We Can, berkolaborasi dengan beberapa artis dan atlet Amerika Serikat lainnya. Lagu ini merupakan bentuk dukungan politis dari orang-orang di daamnya kepada Barack Obama pada masa pemilihan presiden di tahun 2008 yang lalu. Lagu ini bahkan mendapat penghargaan dari Emmy Awards. Berbeda halnya dengan di AS, musisi-musisi Indonesia seperti Slank dan Iwan Fals, mengambil tema politis untuk mengkritik para politikus.

Bentuk kritik maupun pujian yang disampaikan oleh para seniman kepada politikus, bagi saya sebagai penduduk sipil biasa, merupakan cara mereka untuk memberikan pendapat atau dalam arti kasarnya ‘berbicara’. Namun kadang, kritikan dari para seniman ini ditanggapi secara ofensif oleh para politikus atau para pendukung politikus tersebut.

Lagu Yes We Can

Meski bukan seorang politikus, lagu berjudul Andai Aku Jadi Gayus oleh Bona Paputungan sekarang menjadilagu fenomenal sekaligus kontroversial. Sang pencipta lagu bahkan diteror. Entah siapa yang menerornya, Polisi masih menyelidiki kasus ini. Kasus ini membuat saya berpikir betapa pathetic-nya mereka yang menanggapi lagu ini secara berlebihan.

Saya jadi teringat kasus Dixie Chicks beberapa tahun silam. Natalie Maines, vokalis utama band country ini pernah sempat keseleo lidahnya ketika tampil di Inggris. Waktu itu, tahun 2003, invasi ke Irak yang dilakukan oleh Amerika masih menjadi berita yang hangat. Natalie mengatakan

Just so you know, we’re on the good side with y’all. We do not want this war, this violence, and we’re ashamed that the President of the United States is from Texas.

Yang terjemahannya “Asal kalian tahu, kami berada di pihak yang baik. Kami tidak menginginkan perang ini, kekerasan ini, dan kami malu karena Presiden AS berasal dari Texas.” Komentar Natalie langsung menjadi pembicaraan di media-media di AS. Meski mengangung-agungkan kebebasan berpendapat, komentar Natalie tetap saja dianggap sebagai bentukpenghinaan terhadap presiden. Mereka juga bahkan diteror, kaset-kaset mereka dibuang dan dibakar oleh beberapa penggemar mereka. Sebagai jawaban atas situasi yang mereka dapatkan, Dixie Chicks pada tahun 2006 menciptakan lagu berjudul Not Ready To Make Nice, dimana di dalam liriknya berbunyai

"And how in the world can the words that I said send somebody so over the edge.That they'd write me a letter,saying that I better shut up and sing or my life will be over."

Yang bisa diterjemahkan “Betapa kalimat yang saya ucapkan bisa membuat orang melampaui batas. Mereka mengirimkan saya surat yang menyuruh saya untuk diam dan hanya menyanyi, atau jika tidak,hidupku akan berakhir.” Lagu ini bahkan mendapat tiga penghargaan dari Grammy Awards.

Dixie Chicks' Not Ready To Make Nice

Dua hal yang terjadi di dalam dan luar negeri ini menunjukkan kepada kita betapa seni dan politik memang dua hal yang berbeda. Bagi saya, baik Dixie maupun Bona,menciptakan lagu sebagai bentuk pengekspresian pikiran dan perasaan merupakan hal yang wajar. Tidak ada alasan bagi orang lain untuk menanggapinya secara berlebihan karena itu memang profesi mereka. Melarang mereka bersuara seperti melarang bell boy untuk membuka pintu.

Tidak ada komentar: